2013/01/09

Just For Remind Us...

Ada 2 hal dalam hidup...
  1. Memiliki
  2. Kehilangan
 Jika takdir Tuhan mengatakan bahwa sesuatu itu adalah milik kita, maka jalan sesulit apa pun itu, garis sepanjang apa pun itu, sampai batas setebal apa pun itu akan dengan mudah di lewati, bahkan akan terasa sangat mudah...
Maka pada saat itulah, memiliki akan menjadi sahabat terbaik kita...

Namun apabila takdir Tuhan mengatakan bahwa sesuatu itu bukanlah milik kita, maka sesulit dan setebal apa pun itu, tidak akan pernah mampu membawa kita kepadanya, karena memang itu bukanlah untuk kita...
Maka pada saat itulah kehilangan akan singgah dalam kehidupan kita...

Oleh karenanya, ketahuilah...
Jika Tuhan masih memberikan kita kesempatan untuk memiliki semua hal yang saat ini kita miliki, bersyukurlah... Syukurilah...
Milikilah semua ini dengan sebaik-baiknya...
Tempatkanlah semua ini sesuai dengan kapasitasnya...
Karena kita tidak akan pernah mengetahui, semua yang saat ini kita miliki akan terus tumbuh dan berkembang dalam hidup kita atau justru akan menjauh dari hidup kita...
Namun jika ternyata semua yang saat ini kita miliki akan pergi jauh dari hidup kita, setidaknya ada satu hal yang pada saat itu akan kita pikirkan...
Bahwa kita tidak akan pernah menyesali kehilangan itu karena ketika kita masih memilikinya, kita sudah menjaga dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kapasitasnya, bahkan kita sudah melakukan semua hal yang terbaik...

2013/01/08

It's All About Autism..



A.     Hakikat Autisme
1.  Pengertian Anak dengan Gangguan Autisme
Autis, autistik atau autisme itu sendiri adalah merupakan sebuah gangguan perkembangan pervasif yang luas, berat dan kompleks. “Auto” yang berarti sendiri dan “isme” yang berarti aliran/senang, yang gangguan tersebut meliputi gangguan dalam hal ; berinteraksi sosial, berkomunikasi, berbahasa, berperilaku, dalam hal emosi, kognitif dan lain sebagainya.[1]
Meningkatnya jumlah anak penyandang gangguan autisme saat ini, sangat menarik perhatian berbagai elemen masyarakat untuk mengetahui lebih lengkap berbagai hal mengenai anak dengan gangguan autisme, karena anak dengan gangguan autisme dalam kegiatannya menampakkan perilaku yang “unik”, bagi masyarakat yang sangat awam terhadap masalah anak dengan gangguan autisme menganggap bahwa anak dengan gangguan autisme adalah anak cacat mental, anak nakal, bahkan sampai pada tingkat yang lebih berat yaitu “anak gila”, berbagai pandangan tersebut didasarkan pada perilaku anak dengan gangguan autisme yang melakukan aktifitas-aktifitas yang tidak wajar yang biasanya hanya dilakukan oleh orang yang tidak normal, seperti berbicara sendiri, teriak-teriak, tertawa sendiri, menyakiti diri sendiri, bahkan sampai menyakiti orang lain tanpa sebab yang jelas.
Anak dengan gangguan autisme bukan “anak ajaib” atau “pembawa hoki” (gifted child), seperti kepercayaan sebagian orang tua. Jadi, jangan mengharapkan keajaiban muncul darinya. Namun, ia juga bukan bencana, kehadirannya ditengah keluarga tidak akan merusak keharmonisan keluarga. Anak dengan gangguan autisme seperti anak-anak lain, mereka membutuhkan bimbingan dan dukungan lebih dari orang tua dan lingkungannya untuk tumbuh dan berkembang agar dapat hidup mandiri.
Penyandang anak dengan gangguan autisme tidak dapat berhubungan dengan orang lain secara berarti, serta kemampuannya untuk membangun hubungan dengan orang lain terganggu karena ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dan untuk mengerti perasaan orang lain.
Menurut D.S. Prasetyono seperti yang dikutip dari buku serba-serbi anak autis, anak dengan gangguan autisme adalah gangguan perkembangan yang khususnya terjadi pada masa anak-anak yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.[2] Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif.
Gejala anak dengan gangguan autisme dapat timbul sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Pada sebagian anak, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya akan melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Hal yang akan sangat menonjol adalah tidak adanya kontak mata atau sangat kurangnya tatapan mata yang diberikan oleh anak terhadap orang lain.
Dengan demikian, secara sederhana definisi dari anak dengan gangguan autisme dapat disimpulkan sebagai berikut : “merupakan sebuah gangguan perkembangan pervasif yang sangat berat, kompleks dan luas yang kaitannya dengan gangguan dalam hal berinteraksi sosial, berkomunikasi, berbahasa, berperilaku, emosi, maupun kognitifnya, yang akan sangat membutuhkan penanganan-penanganan khusus guna meminimalisir gangguan yang dialaminya”.


2.    Karakteristik Anak dengan Gangguan Autisme
Kebanyakan anak dengan gangguan autisme berpenampilan seperti anak pada umumnya, tetapi lebih banyak dari mereka yang menghabiskan waktunya dengan bermain puzzle dan berperilaku mengganggu, yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya (termasuk orang tuanya). Mereka sering digambarkan tinggal didunianya sendiri.
Menurut Depdiknas, seperti halnya anak pada umumnya, penyandang anak dengan gangguan autisme memiliki perbedaan dalam kemampuan dan perilaku. Masing-masing anak memiliki sekumpulan ciri-ciri yang unik dari anak dengan gangguan autisme sebagai berikut : hambatan dalam membentuk hubungan sosial berupa (1) cenderung menyendiri dan tidak inisiatif untuk melakukan kontak dengan orang lain maupun teman sebaya, (2) kesulitan dalam mengekspresikan emosi dan memahami perasaan orang lain, (3) kurang dapat bereaksi secara tepat terhadap perasaan dan emosi orang lain, (4) tidak mampu membentuk hubungan pertemanan dan berinteraksi sosial sesuai usianya, (5) minat terbatas dan tidak dapat bermain secara akurat, (6) keterbatasan dalam keterampilan sosial.
Hambatan dalam komunikasi verbal dan non verbal berupa (1) keterlambatan atau kegagalan dalam perkembangan bahasa, yang mana tidak dikompensasikan dengan penggunaan gesture (isyarat), (2) kegagalan dalam merespon komunikasi orang lain, seperti misalnya tidak bereaksi bila dipanggil, (3) penggunaan bahasa yang repetitif dan stereotip, (4) kebingungan dalam penggunaan kata ganti diri sendiri seperti saya menjadi kamu dan sebaliknya.
Pola-pola perilaku yang unik berupa (1) gerakan tubuh berulang-ulang yang mengganggu proses pelaksanaan tugas, seperti mengepakkan tangan, menjentikkan jari, berteriak-teriak, loncat-loncat dan sebagainya, (2) preokupasi pada bagian-bagian dari atau ketertarikan pada objek tertentu, (3) tidak menyukai perubahan, (4) memaksakan rutinitas secara detail, (5) minat yang sangat sempit dan terbatas.[3]
Selain ciri-ciri tersebut kriteria anak dengan gangguan autisme juga dapat dilihat dari beberapa sisi diantaranya dari interaksi sosial, komunikasi, perilaku sosial emosi, sensorik motorik.
Dari interaksi sosial, bagaimana anak berkomunikasi (1) echolalia, (2) isi pembicaraan aneh, (3) tidak berkomunikasi secara dua arah, (4) aneh dan isi pembicaraan yang tidak relevan. Dari bagaimana anak berperilaku pada hal dan minat yang terbatas pada itu-itu saja (1) menyendiri, (2) pasif, (3) kurang motivasi, (4) tantrum, (5) agresif. Atau dari gangguan emosi dan kognitif anak seperti (1) anak kesulitan mengidentifikasi emosi dan mengekspresikan emosi, (2) cenderung lebih banyak menunjukkan emosi yang negative, (3) kurang tertarik dan tidak mau berkomunikasi dengan menatap wajah orang lain. Dan dari segi kognitif, rata-rata anak dengan gangguan autisme mempunyai memori yang luar biasa walaupun cenderung tidak fungsional, atau dengan problem solving yang buruk terutama tidak mampu membaca informasi kontekstual.
Menurut D.S. Prasetyono dalam bukunya serba-serbi anak autis, dikemukakan bahwa anak dengan gangguan autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan. Akan tetapi hal ini tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada pada anak.[4] Perilaku anak dengan gangguan autisme juga disebabkan oleh adanya kelainan lain yang bukan autisme, sehingga dapat dilakukan tes klinis lainnya untuk dapat memastikan kemungkinan-kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.
Karakteristik dari anak penyandang autisme ini banyak ragamnya, sehingga cara diagnosis yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada beberapa tim dokter ahli, seperti ahli neurologi, ahli psikologi anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya di bidang autisme.
Mungkin secara sekilas, penyandang anak dengan gangguan autisme dapat terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan pendengaran, atau berperilaku aneh dan nyentrik. Hal yang dapat lebih menyulitkan adalah jika semua gejala tersebut timbul pada anak secara bersamaan. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk membedakan antara anak dengan gangguan autisme dengan penyakit lainnya, sehingga diagnosis yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk menentukan tindakan dan arahan selanjutnya yang sebaiknya diberikan untuk anak dengan gangguan autisme.[5]
3.  Perilaku Anak dengan Gangguan Autisme
Perilaku anak dengan gangguan autisme berbeda dari perilaku anak pada umumnya. Dengan mengetahui ciri-ciri dan karakteristik anak dengan gangguan autisme maka dapat dikatakan bahwa perilaku anak anak dengan gangguan autisme dibagi menjadi dua, yaitu perilaku yang berlebihan (excessive) dan perilaku yang berkekurangan/pasif (deficit). [6]
Yang termasuk kedalam perilaku yang berlebihan antara lain : (1) perilaku self abusive berupa perilaku yang suka menyakiti dirinya sendiri seperti dengan menggigit, mencakar diri sendiri, memukul-mukul kepalanya, menjambak rambut, dsb, (2) perilaku agresif yaitu perilaku menyerang yang ditujukan kepada orang lain, seperti mencubit, mencakar, menendang, menggigit, memukul, dan sebagainya, (3) perilaku tantrum yaitu perilaku mengamuk atau marah besar tanpa suatu sebab yang pasti. Ini di contohkan dengan menjerit-jerit, berguling-guling, berteriak, menangis, meloncat, dan sebagainya, (4) perilaku stimulasi diri yaitu perilaku yang ditujukan untuk dirinya sendiri yang dilakukan untuk membuat dirinya asik, pada umumnya perilaku ini terlihat tidak normal seperti mengepak-ngepakkan tangannya, bertepuk tangan secara berulang-ulang, melompat-lompat, berputar seperti mobil-mobilan, dan sebagainya, dan (5) masuk ke dalam sesuatu atau memberantakkan sesuatu yang ditujukan untuk dirinya sendiri, yang dilakukan seperti masuk ke dalam lemari, memberantakkan buku-buku atau mainan, dan sebagainya.[7]
Sedangkan yang termasuk ke dalam perilaku berkekurangan/pasif (deficit) antara lain : (1) adanya gangguan berbicara seperti ekolalia (membeo), mengulang kata atau kalimat yang di dengarnya, (2) perilaku sosial yang tidak berkembang seperti menganggap orang disekitarnya hanya sebagai objek mainannya dan sebagainya, (3) sensasi indera yang kurang di fungsikan seperti dicubit dan tidak merasakan sakitnya, terlihat tuli padahal mampu mendengar, dan sebagainya, (4) tidak dapat bermain dengan benar seperti bermain secara monoton (itu-itu saja), stereotipik, dan sebagainya, (5) ekspresi emosi yang kosong seperti melamun, memandang tetapi tidak melihat. Dengan mengetahui perilaku yang berlebihan (excessive) dan perilaku yang berkekurangan (deficit), maka guru dapat memberikan pengajaran, pelatihan ataupun pelayanan kepada anak dengan gangguan autisme dengan bertujuan untuk memperbaiki perilaku diatas.

Peranan Guru Dalam Menangani Siswa Dengan Gangguan Autisme di Sekolah Inklusif



PERANAN GURU DALAM MENANGANI SISWA DENGAN GANGGUAN AUTISME DI SEKOLAH INKLUSIF
Yusita Widiningtyas
(Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNJ)


PENDAHULUAN
     Di sekolah, siswa dengan gangguan autisme sangat membutuhkan perhatian dan penanganan yang khusus. Pada sekolah inklusif, seringkali ditemukan permasalahan mengenai siapa yang memegang peranan lebih banyak terhadap siswa dengan gangguan autisme ini, baik dalam penanganan akademik maupun non akademik. Karena siswa dengan gangguan autisme sudah memiliki guru pendamping khususnya, sehingga guru kelas bersikap sedikit acuh atau tidak memperdulikan. Guru pendamping khusus hanya berkonsentrasi dan menangani siswa didiknya tanpa memperdulikan siswa berkebutuhan khusus yang lain sekaligus siswa pada umumnya.
      Sebuah lembaga pendidikan yang berlabelkan inklusif seharusnya dapat menangani permasalahan ini dengan baik. Karena sebuah lembaga pendidikan inklusif beserta komponen-komponen didalamnya, yaitu guru dan para staf seharusnya memberikan pelayanan dan pengajaran yang tepat kepada siswa dengan gangguan autisme maupun siswa berkebutuhan khusus yang lainnya dengan tujuan mencerdaskan dan memberikan informasi yang maksimal bagi mereka secara individu maupun kelompok.
       Berdasarkan konteks penelitian yang dikemukakan di atas, maka fokus penelitiannya yaitu : Bagaimana peranan yang diberikan oleh guru kelas dan guru pendamping khusus Sekolah Dasar Islam Terpadu Ruhama dalam menangani siswa dengan gangguan autisme yang meliputi ; (a) peranan guru sebagai sumber belajar, (b) sebagai fasilitator, (c) sebagai pengelola, (d) sebagai demonstrator, (e) sebagai pembimbing, (f) sebagai motivator, dan (g) sebagai evaluator.
       Dan berdasarkan fokus penelitian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai peranan guru kelas dan guru pendamping khusus Sekolah Dasar Islam Terpadu Ruhama dalam menangani siswa dengan gangguan autisme, baik penanganan dalam hal akademik maupun non akademik.

KAJIAN TEORI
      Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai guru. (M. Uzer Usman, 1992 : 5).
Dengan demikian, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa definisi guru adalah : “sebuah jabatan fungsional dimana seseorang sebagai seorang pendidik profesional mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan kegiatan mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, sampai dengan pendidikan menengah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Guru memiliki banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Jika dikelompokkan terdapat tiga jenis tugas guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas dalam bidang kemanusiaan, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.
Tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Tugas guru dalam kemasyarakatan diartikan bahwa guru memiliki tempat yang lebih terhormat dilingkungannya, oleh karena itu masyarakat dapat memperoleh ilmu pengetahuan dari seorang guru. Artinya guru berkewajiban mencerdaskan bangsa menuju pembentukkan manusia Indonesia seutuhnya yang berdasarkan Pancasila.
Guru pendamping khusus memiliki tugas-tugas lainnya yang tidak dapat dilakukan oleh guru yang bukan berlatarbelakang PLB. Guru pendamping khusus bertugas sebagai konsultasi bagi guru kelas dalam memahami dan menangani masalah yang berkaitan dengan siswa berkebutuhan khusus, guru pendamping khusus juga bertugas untuk memberikan saran kepada guru kelas biasa atau guru bidang studi mengenai pendekatan dan metode pembelajaran yang sesuai bagi siswa berkebutuhan khusus.
Seperti yang banyak diketahui, suatu pencapaian hasil dari  proses belajar mengajar yang dilakukan tergantung dari bagaimana peranan dan kompetensi dari guru. Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat yang optimal.
Sesungguhnya peranan guru tidak hanya terbatas pada keempat dinding kelas yang ada. Guru mempunyai tugas di kelas, di dalam dan di luar sekolah serta di masyarakat. Dengan demikian, secara sederhana peranan guru dapat didefinisikan sebagai : “setiap pola tingkah laku maupun sikap yang merupakan ciri-ciri dari sebuah jabatan sebagai seorang guru yang tentunya harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya sebagai sumber belajar, fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, motivator, dan sebagai evaluator”.
Autis, autistik atau autisme itu sendiri adalah merupakan sebuah gangguan perkembangan pervasif yang luas, berat dan kompleks. “Auto” yang berarti sendiri dan “isme” yang berarti aliran/senang, yang gangguan tersebut meliputi gangguan dalam hal ; berinteraksi sosial, berkomunikasi, berbahasa, berperilaku, dalam hal emosi, kognitif dan lain sebagainya.
Pendidikan inklusif merupakan sebuah layanan pendidikan yang mencoba memenuhi kebutuhan hak-hak siswa berkebutuhan khusus mendapatkan pendidikan. Sedangkan menurut Stainback dan Stainback, sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif tidak hanya menampung semua siswa di kelas yang sama, melainkan menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, serta sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap siswa dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat yang lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. (Wahyu Sri Ambar Arum, 2009 : 69).

METODE PENELITIAN
     Adapun tahapan-tahapan penelitian dalam proses pengumpulan data sebagai berikut : (i) Tahap Orientasi Lapangan, (ii) Tahap Eksplorasi Lapangan, (iii) Tahap Penyusunan dan Penyerahan Laporan.
      Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif kualitatif. Peneliti menggunakan metode ini karena metode ini sesuai untuk digunakan jika peneliti akan mendeskripsikan data tentang orang dengan cara mengamati perilaku secara langsung dalam latar penelitian tanpa bertujuan untuk menguji suatu hipotesis tertentu.
       Pada penelitian ini, peneliti mengumpulkan data berdasarkan proses kegiatan dari peranan guru kelas dan guru pendamping khusus dalam menangani siswa dengan gangguan autisme di sekolah inklusif khususnya. Data yang dikumpulkan oleh peneliti berupa dokumentasi pribadi, catatan lapangan, ucapan, dan tindakan responden serta dokumentasi. Sesuai dengan fokus penelitian, sumber data utama dalam penelitian ini adalah guru kelas dan guru pendamping khusus, selebihnya adalah tambahan data seperti wawancara, dokumen dan lain-lain.
       Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara pengamatan (observasi), wawancara dan dokumentasi. Tehnik analisis data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah tehnik analisis data selama dilapangan yang  menggunakan model Miles dan Huberman. Tehnik ini dilakukan oleh peneliti pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Aktivitas dalam analisis data yang dilakukan oleh peneliti diantaranya yaitu data reduction (reduksi data), data display (penyajian data) dan conclusion drawing/verification (kesimpulan data).
       Untuk memeriksa keabsahan data penelitian,  peneliti melakukan tehnik triangulasi data yang bersifat menggabungkan dari berbagai tehnik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Sehingga data-data yang ditemukan menjadi suatu kesatuan yang berkesinambungan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
      Peranan guru kelas sebagai sumber belajar yang ditemukan adalah guru dapat menguasai setiap materi pelajaran yang akan disampaikan kepada siswanya. Guru kelas selalu mengupayakan diri untuk selalu mengusai setiap bahan ajar yang akan diberikan kepada siswa, guru kelas selalu berusaha untuk mencari referensi lainnya agar dapat menambah kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya.
     Namun dalam hal penanganan guru kelas terhadap siswa dengan gangguan autisme, peranan guru kelas sebagai sumber belajar tidak dapat dilakukan dengan baik. Guru kelas memberikan perannya sebagai sumber belajar kepada guru pendamping khusus siswa dengan gangguan autisme tersebut. Hal tersebut dikarenakan guru kelas tidak dapat memberikan perhatian yang lebih terhadap siswa dengan gangguan autisme. Guru kelas cenderung memperhatikan siswa pada umumnya.
     Sementara peran dari guru pendamping khusus sebagai sumber belajar bagi siswa dengan gangguan autisme dapat diberikan secara optimal. Mengingat bahwa guru pendamping khusus hanya memberikan perhatian terhadap siswa dengan gangguan autisme, oleh karenanya guru pendamping khusus ini dapat melakukannya perannya sebagai sumber belajar dengan baik.
     Peranan guru kelas sebagai fasilitator yang ditemui seperti guru kelas yang selalu mengusahakan media-media yang dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses dari belajar mengajar, baik yang berupa nara sumber, buku teks, majalah, ataupun surat kabar.
     Sementara guru pendamping khusus selalu mengusahakan perannya sebagai fasilitator bagi siswa dengan gangguan autisme. Guru pendamping khusus selalu berusaha untuk memberikan pelayanan bagi siswa dengan gangguan autisme agar pembelajaran yang diberikan dapat tersalurkan dan dapat diterima dengan baik oleh siswa. Seperti dengan penyampaian materi-materi pelajaran menggunakan media-media yang menarik dan bersifat konkrit. Hal tersebut seringkali digunakan agar siswa dengan gangguan autisme dapat lebih mudah menangkap dan menerima materi pelajaran yang dijelaskan.
     Sebagai pengelola kelas, guru kelas dapat dikatakan mampu mengelola kelas dengan baik. Seperti yang diketahui, kelas yang dikelola dengan baik akan menunjang jalannya interaksi edukasi. Sebaliknya, kelas yang tidak dikelola dengan baik akan menghambat kegiatan pengajaran.
     Sementara peranan guru pendamping khusus sebagai pengelola bagi siswa dengan gangguan autisme terlihat ketika guru pendamping khusus selalu mengkondisikan siswa dengan gangguan autisme sebelum memulai pembelajaran. Biasanya guru pendamping khusus mengkondisikan siswa dengan gangguan autisme tersebut dengan cara memberikan reward terlebih dahulu.
     Peranan guru kelas sebagai demonstrator bagi siswa dengan gangguan autisme tidak dapat diberikan secara optimal. Guru kelas lebih banyak berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswa-siswa pada umumnya. Guru kelas juga lebih banyak menyampaikan materi pelajaran kepada siswa pada umumnya. Sehingga segala sesuatu yang kurang dipahami oleh siswa dengan gangguan autisme, khususnya yang kaitannya dengan materi pelajaran, lebih banyak didapatkannya dari guru pendamping khusus.
     Sementara guru pendamping khususnya memang lebih banyak melakukan perannya sebagai demonstrator bagi siswa dengan gangguan autisme. Guru pendamping khusus selalu mengupayakan agar siswa dengan gangguan autisme dapat memahami dan mengerti setiap pesan, instruksi dan arahan yang diberikan.
     Peranan guru kelas sebagai pembimbing adalah dengan membimbing siswa agar dapat menemukan berbagai potensi yang dimiliki siswa sebagai bekal hidupnya. Tidak hanya itu, guru kelas juga membimbing siswa agar dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka sehingga dengan pencapaian itu siswa dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang diharapkan guru maupun orang tua dan masyarakat.
     Sementara peranan guru pendamping khusus sebagai pembimbing dalam menangani siswa dengan gangguan autisme adalah dengan guru pendamping khusus selalu berusaha untuk tetap membimbing siswa dengan gangguan autisme agar dapat terus berkembang sesuai dengan bakat dan potensi yang dimilikinya. Guru pendamping khusus tidak pernah memaksakan agar siswa yang dibimbingnya harus berkembang sesuai dengan apa yang guru pendamping khusus inginkan.
     Peranan guru kelas sebagai motivator sangat terlihat dengan jelas. Guru kelas selalu berusaha untuk terus memotivasi minat siswa dalam belajar. Seperti memulai kegiatan pembelajaran dengan bermain atau bercerita. Secara tidak langsung hal tersebut dapat menarik minat siswa untuk dapat memperhatikan apa yang akan guru kelas jelaskan.
     Sementara peranan guru pendamping khusus sebagai motivator dalam menangani siswa dengan gangguan autisme terlihat dalam setiap proses perkembangan yang dialami oleh siswa. Guru pendamping khusus selalu mengupayakan diri untuk menyampaikan materi pelajaran dengan suasana yang menyenangkan, guru pendamping khusus juga selalu memberikan reward terhadap keberhasilan maupun kegagalan yang dilakukan oleh siswa. Guru pendamping khusus juga selalu mengupayakan untuk terus memotivasi siswa dengan gangguan autisme agar dapat bersaing dan bekerjasama secara sehat dengan siswa-siswa lain pada umumnya.
     Peranan guru kelas sebagai evaluator dalam menangani siswa dengan gangguan autisme tidak jauh berbeda dalam penanganannya terhadap siswa lain pada umumnya. Guru kelas tetap memberikan penilaian secara keseluruhan kepada siswa dengan gangguan autisme. Penilaian tersebut tidak hanya dilihat dari akademik siswa, tetapi juga dilihat dari aspek non akademik siswa. Dengan peranannya sebagai evaluator, guru kelas berusaha untuk selalu memberikan penilaian sejujur-jujurnya, walaupun dalam aspek akademik siswa dengan gangguan autisme seringkali mengalami hambatan.
     Sementara peranan guru pendamping khusus sebagai evaluator dalam menangani siswa dengan gangguan autisme terlihat manakala siswa dengan autisme ketika sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru kelas. Guru pendamping khusus melakukan penilaian dari sejauh mana pemahaman siswa dengan gangguan autisme dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru kelas. Guru pendamping khusus juga tidak berusaha untuk membantu siswa dalam mengerjakan tugasnya.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
      Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa peranan guru pendamping khusus dalam menangani siswa dengan gangguan autisme sangat memegang peranan yang optimal. Siswa dengan gangguan autisme mendapatkan banyak bimbingan dari guru pendamping khusus. Dalam kemampuan akademik, siswa dengan gangguan autisme masih sangat membutuhkan bantuan dari guru pendamping. Tanpa adanya guru pendamping, khusus proses belajar mengajar siswa dengan gangguan autisme mengalami hambatan. Guru kelas tidak mampu memberikan perhatian yang optimal terhadap siswa dengan gangguan autisme. Guru kelas lebih memperhatikan siswa pada umumnya sehingga siswa dengan gangguan autisme sangat bergantung kepada guru pendamping khusus dalam hal akademik maupun non akademiknya.
Saran
      Diharapkan masing-masing pihak juga dapat menyadari akan masing-masing peranannya, baik itu peranan sebagai sumber belajar, fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, motivator maupun evaluator. Diharapkan agar pihak sekolah dapat memberikan seminar atau pelatihan-pelatihan bagi guru kelas maupun guru pendamping khusus mengenai cara menangani siswa dengan gangguan autisme maupun siswa berkebutuhan khusus yang lain. Diharapkan orang tua dapat memahami dan mengerti peranan dari masing-masing guru, baik guru kelas maupun guru pendamping khusus. Agar lebih memperpanjang waktu penelitian dan mampu menyajikan hasil selanjutnya dengan lebih akurat dan menjadikan bahan skripsi ini sebagai acuan.